Ia memandang rak buku yang mengelilinginya. Plato berdampingan dengan Al-Ghazali, karya sastra Jawa klasik bersanding dengan jurnal penelitian modern. Bukan kekayaan materi yang membuat matanya berbinar, melainkan percakapan tak terlihat antar pemikiran itu—dialog abadi yang telah membentuk hidupnya selama 78 tahun.
"Ibu," bisiknya ke arah foto sang istri di meja tua, "mereka akan datang besok. Bukan untuk harta, tapi untuk yang lebih penting."
Panggilan yang Tak Terduga
Telepon berdering di lima rumah berbeda di kota yang sama.
"Tapi Ayah, aku sedang ada kasus penting—"
"Bukan tentang warisan harta," potong Pak Harjo lembut. "Tapi tentang warisan yang lain."
Keesokan harinya, kelima anaknya berkumpul dengan ekspresi campur adug. Di ruang tamu, mereka saling pandang dengan tanya yang sama: Apa yang sedang terjadi?
Mereka adalah:
- Dian (45), pengacara sukses dengan reputasi tak tergoyahkan.
- Budi (42), dokter spesialis jantung yang dihormati.
- Citra (40), guru yang baru saja menerima penghargaan nasional.
- Eka (37), seniman yang karyanya mulai diakui internasional.
- Rudi (34), pengusaha start-up yang agresif dan pragmatis.
"Ayah baik-baik saja?" tanya Budi, naluri kedokterannya muncul.
"Secara fisik, tidak," jawab Pak Harjo jujur. "Tapi hari ini bukan tentang tubuh yang akan binasa. Mari kita ke ruang baca."
Buku Catatan Kulit yang Usang
Di ruang baca yang beraroma kayu cendana dan kertas tua, Pak Harjo membuka buku catatan kulit berwarna coklat gelap.
"Hari pertama ini, ayah akan bacakan catatan tahun 1975," ujarnya. Suaranya tenang namun penuh otoritas lembut.
"3 Maret 1975. Hari ini bisnis tekstil pertama gagal. Tujuh karyawan harus di-PHK. Rasanya dunia runtuh. Tapi sore hari, Bapak (almarhum kakek kalian) datang. Tidak dengan uang, tapi dengan buku Plato yang dia beri tanda di halaman tentang kisah gua. 'Anakku,' katanya, 'kegagalan adalah bayangan di dinding gua. Yang penting adalah keberanianmu untuk terus berjalan mencari cahaya sejati.'"
Rudi menyeringai. "Ayah, maaf, tapi apa relevansinya dengan kita sekarang? Kita butuh tahu tentang properti, investasi—"
"Sabarlah," ucap Pak Harjo. "Kebenaran sering datang perlahan, seperti pohon yang tumbuh."
Ia melanjutkan membaca catatan tentang pertemuannya dengan ibu mereka, tentang keputusan-keputusan sulit saat reformasi, tentang kehilangan yang paling pahit—ketika ibu mereka meninggal sepuluh tahun lalu.
"Di sini, catatan tentang hari terakhir Ibu," suara Pak Harjo bergetar. "Dia tidak meninggalkan wasiat tertulis tentang perhiasan atau tabungan. Tapi di ranjang rumah sakit, dia pegang tangan ayah dan berkata, 'Ajari mereka mencintai seperti kita dulu belajar: dengan sabar, dengan pengampunan, dengan keyakinan bahwa setiap orang membawa cahaya sendiri.'"
Citra mengusap air mata. Eka memandang keluar jendela, mencerna.
Tur Perpustakaan Kehidupan
Hari ketiga, Pak Harjo memandu mereka berkeliling perpustakaan pribadinya yang terdiri dari 3.000 buku lebih.
"Ini bukan koleksi, tapi perjalanan," katanya sambil berjalan pelan.
Dia berhenti di rak filsafat Yunani. "Plato ini ayah beli di loakan saat kuliah dengan uang makan tiga hari. Diajarkan ayah bahwa masyarakat ideal dibangun bukan di atas kekayaan, tapi di atas kebijaksanaan."
Lalu ke rak spiritualitas Islam. "Al-Ghazali ini hadiah dari kakek. Diajarkan bahwa ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Ilmu tanpa hati seperti tubuh tanpa nyawa."
Ia berjalan ke rak khusus berisi naskah-naskah lokal. "Dan ini, karya nenek kalian. Dia menulis ulang cerita rakyat yang hampir punah. Mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak selalu datang dari jauh—ia ada dalam cara kita menghormati tetangga, merawat sungai, menjaga keseimbangan."
Budi bertanya, "Ayah, kenapa semua ini penting bagi kami? Kami sudah berhasil dengan cara kami sendiri."
Pak Harjo duduk, menarik napas. "Karena kesuksesan tanpa makna adalah kegagalan yang tertunda. Karena kekayaan tanpa kebijaksamaan adalah bencana yang menunggu waktu."
Hadiah Terakhir
Di malam keenam, Pak Harjo mengumpulkan mereka untuk terakhir kalinya. Di atas meja, lima bingkai kayu sederhana berisi buku catatan kosong.
"Ini warisan terakhir ayah untuk masing-masing kalian," katanya. "Buku catatan kosong dengan bingkai dari pohon mangga di halaman—pohon yang sama yang kalian panjat waktu kecil."
Satu per satu dia menyerahkan, disertai kalimat khusus:
Untuk Budi: "Menyembuhkan tangan saja tidak cukup; sembuhkanlah hati. Catatlah setiap pasien yang mengajarimu tentang keberanian."
Untuk Citra: "Ilmu bukan untuk dikuasai, tapi untuk dibagikan. Catatlah setiap momen saat muridmu melihat sesuatu dengan cara baru."
Untuk Eka: "Keindahan adalah kebenaran yang terlihat. Catatlah setiap saat kau menemukan harmoni dalam kekacauan."
Untuk Rudi: "Kekayaan sejati adalah apa yang tetap ada setelah semua materi hilang. Catatlah setiap keputusan bisnis yang juga memperkaya jiwa."
Rudi memegang bingkainya, terdiam lama. "Ayah... maafkan aku. Aku datang hanya memikirkan bagian materi."
Pak Harjo tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Itu manusiawi, Nak. Tapi sekarang kau tahu ada bagian yang lebih besar menunggumu."
Angin yang Terus Berhembus
Dua bulan kemudian, Pak Harjo meninggal dengan tenang. Di upacara sederhana yang dihadiri ratusan orang—dari mantan karyawan hingga anak-anak jalanan yang pernah diajarnya membaca—tidak ada pembacaan wasiat material.
Seminggu setelahnya, kelima bersaudara berkumpul lagi. Tanpa pertengkaran, mereka sepakat:
- Rumah tua akan dijual.
- Uangnya akan digunakan mendirikan "Yayasan Pustaka Harjo".
- Perpustakaan pribadi Pak Harjo akan menjadi koleksi inti.
- Mereka akan menambah koleksi dengan buku-buku kontemporer.
- Akan ada ruang diskusi dan workshop gratis untuk komunitas.
Tapi warisan sejati terlihat dalam keputusan hidup mereka:
Dian menolak membela perusahaan yang merusak lingkungan, meski bayarannya setara dengan gaji setahun. Di buku catatannya, dia menulis: "Hari ini memilih prinsip atas profit. Ayah pasti tersenyum."
Budi membuka klinik jantung keliling ke daerah terpencil. Di bukunya: "Seorang nenek di desa bilang, 'Dokter, kamu seperti angin sejuk.' Itulah pujian terbesar."
Citra menginisiasi program "Guru Merantau" di mana guru kota mengajar di desa bergiliran. Catatannya: "Anak-anak di pelosok bertanya tentang Plato. Mereka menyebutnya 'Pak Plato' seperti tetangga."
Eka membuat instalasi seni dari sampah plastik, mengajak narapidana sebagai partisipan. Tulisnya: "Mereka menemukan keindahan dalam apa yang dibuang dunia. Seperti kita semua."
Rudi mengubah model bisnisnya menjadi social enterprise yang melatih pemuda putus sekolah menjadi teknisi energi terbarukan. Di catatan pertamanya: "Ayah, hari ini aku mengerti: bisnis terbaik adalah yang meninggalkan warisan, bukan hanya laba."
Generasi Berikutnya
Lima tahun kemudian, di peringatan wafat Pak Harjo, cucu-cucunya berkumpul di Yayasan Pustaka Harjo yang kini berkembang menjadi pusat komunitas.
Lintang, cucu tertua, bertanya pada ayahnya (Budi): "Apa sebenarnya warisan terbesar Kakek?"
Budi memandang rak buku, lalu ke arah buku catatan berbingkai kayu mangga yang kini setengah terisi. "Lihat, Lin. Kakek tidak meninggalkan kita jawaban. Dia meninggalkan kita pertanyaan—pertanyaan yang baik, yang membuat kita berpikir, yang membuat kita menjadi manusia lebih baik."
Di dinding utama perpustakaan, tergantung kaligrafi karya Eka berbunyi: "WARISKAN IDE, BUKAN HANYA HARTA".
Dan di bawahnya, kutipan favorit Pak Harjo dari Plato: "Pendidikan bukan mengisi ember, tapi menyalakan api."
Lintang, sekarang mahasiswa filsafat, menambahkan: "Dan dari hadis Nabi Muhammad SAW: 'Jika manusia meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.' Kakek meninggalkan ilmu yang bermanfaat."
Angin di Antara Halaman
Di suatu sore, angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela perpustakaan yang terbuka. Ia membalik halaman buku Plato yang terbuka di meja baca, lalu meneruskan ke halaman Al-Ghazali di rak sebelahnya, seolah melanjutkan percakapan yang telah berlangsung berabad-abad.
Di sudut ruang, seorang anak jalanan yang rajin datang membaca menatap buku cerita rakyat dengan kagum. Di sebelahnya, seorang eksekutif muda menyimak diskusi tentang etika bisnis dalam filsafat Timur.
Dian, yang sedang mengawasi kegiatan, melihat ke arah foto Pak Harjo di dinding. Matanya seolah berkata: "Lihatlah, Ayah. Api itu terus menyala. Ide-ide itu terus hidup."
Dan di udara, seolah terdengar bisikan lembut: "Tidak ada warisan yang lebih abadi daripada kebijaksanaan yang dibagikan. Tidak ada kekayaan yang lebih berharga daripada nilai yang dihidupi. Tidak ada peninggalan yang lebih mulia daripada pertanyaan baik yang terus diturunkan dari generasi ke generasi."
Pesan dari Cerita "Angin di Antara Halaman"
Warisan sejati bukan terletak pada apa yang kita tinggalkan dalam brankas, melainkan pada apa yang kita tanamkan dalam benak dan hati. Benda material dapat habis, rusak, atau musnah, tetapi ide, nilai, dan kebijaksanaan justru tumbuh subur ketika dibagikan, diperdebatkan, dan dihidupi.
Cerita ini merangkum tradisi kebijaksanaan dari berbagai peradaban:
- Dari Yunani: philo-sophia (cinta akan kebijaksanaan) sebagai pencarian seumur hidup.
- Dari Islam: ilmu yang bermanfaat sebagai amal jariyah yang tidak terputus.
- Dari kearifan lokal: hikayat dan cerita rakyat sebagai pembentuk identitas dan karakter.
Dalam dunia modern yang sering mengukur segalanya dengan materi, kita diingatkan bahwa:
- Pengetahuan yang dibagikan adalah investasi abadi dalam masa depan.
- Keterampilan hidup yang diajarkan membangun ketahanan generasi berikutnya.
- Prinsip-prinsip etis yang didiskusikan membentuk kompas moral yang lebih kuat daripada sekadar aturan hukum.
Setiap kita—sebagai orang tua, guru, anggota komunitas, atau pemimpin—mewariskan sesuatu setiap hari melalui kata, tindakan, dan pilihan kita. Pertanyaannya: Warisan macam apa yang sedang kita tulis di halaman buku kehidupan generasi setelah kita?
Seperti angin yang meneruskan percakapan di antara halaman buku yang terbuka, demikianlah warisan ide kita: tak terlihat, tetapi menggerakkan; tak bersuara, tetapi berbicara abadi.
Tinggalkanlah jejak prinsip, bukan hanya jejak properti.
Wariskah pertanyaan yang membebaskan, bukan hanya jawaban yang membatasi.
Karena akhirnya, yang bertahan bukanlah apa yang kita kumpulkan untuk diri sendiri, melainkan apa yang kita bagikan untuk sesama dan masa depan.

0 Komentar