Terimalah apa yang tidak dapat kamu ubah

Terimalah apa yang tidak dapat kamu ubah. Bukan dengan kepasrahan, melainkan dengan kejernihan — bahwa dengan mengakui batas, justru kita menemukan medan kekuatan kita yang sebenarnya.

Charirmasirfan.com | Cerita Fiksi: Akar di Bebatuan - Langit pagi di atas lereng Gunung Api masih berwarna jingga lembut ketika Alia, dengan keringat dingin membasahi pelipisnya, menatap ponselnya yang tak lagi mendapat sinyal. Pesan terakhir dari Mark, adiknya, tertahan di layar: "Ali, gempa susulan di jalur selatan. Saya putar ke jalur cendrawasih. Masih aman. Jangan khawatir." Itu enam jam yang lalu.

Alia mengepalkan tangan di atas paha, merasakan getaran kecil dari dalam bumi. Sebagai ahli geologi termuda di tim pemantau, ia tahu betul arti getaran-getaran itu. Gunung Api sedang bergolak, dan adiknya terjebak di dalam raganya yang murka.

"Ia tidak seharusnya mengambil jalur cendrawasih," gumam Alia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris hilang dalam desau angin pagi.

Pikirannya diserbu gambar-gambar mengerikan: jalan longsor, batu-batu raksasa berguling, Mark terjebak sendirian di antara tebing-tebing curam. Ia membayangkan adiknya yang periang itu, kini mungkin terluka, ketakutan, menunggu pertolongan yang tak kunjung datang. Napasnya tersengal. Alia hampir membanting alat ukur seismograf portabel di pangkuannya—sebuah alat yang tiba-tiba terasa tak berguna.

Kebijaksanaan di Lereng Gunung

"Alia."

Suara itu datang dengan tenang namun penuh wibawa. Pak Bayu, ketua tim yang telah beruban, mendekatinya dengan langkah mantap. Wajahnya yang keriput oleh matahari dan angin gunung tampak seperti peta topografi hidup—setiap garis menceritakan tahun-tahun yang dihabiskan berdialog dengan gunung-gunung yang tak pernah diam.

"Kita sudah kirimkan koordinat terakhir Mark ke tim SAR. Mereka sudah bergerak sejak fajar," ujar Pak Bayu, matanya yang bijak menatap langsung ke dalam jiwa Alia yang bergejolak.

"Tapi jalur cendrawasih itu curam, Pak! Anda tahu itu. Dan gempa susulan kemarin—"

"Alia," Pak Bayu memotong dengan lembut namun tegas. "Duduklah sebentar. Tarik napas."

Dengan patuh, Alia duduk di atas batu besar, sementara Pak Bayu mengambil tempat di sampingnya. Gunung Api mengeluarkan kepulan asap putih di kejauhan, sebuah pemandangan yang seharusnya menakjubkan namun kini terasa mengancam.

"Kita ada di sini untuk tugas apa?" tanya Pak Bayu.

"Memantau aktivitas vulkanik. Merekam data. Memprediksi erupsi," jawab Alia dengan suara serak, daftar itu seperti mantra yang sudah hafal di luar kepala.

"Ya. Itulah yang dalam kendali kita," ucap Pak Bayu, menekankan kata-kata terakhir. "Data dari seismograf ini, analisis gas, pengamatan visual—ini adalah domain kita. Nasib Mark di luar sana, di jalur pendakian, adalah domain tim SAR. Dan nasibnya sendiri. Kamu ingin membantu Mark?"

"Lebih dari apapun!"

"Maka bantulah dengan melakukan tugasmu dengan presisi setinggi langit. Setiap data yang kita kumpulkan, setiap prediksi akurat yang kita hasilkan, bisa menyelamatkan bukan hanya Mark, tetapi juga desa-desa di bawah. Stres dan kecemasanmu atas sesuatu yang tak bisa kamu ubah hanya akan mengacaukan konsentrasi dan membuatmu membuat kesalahan di sini, di domain yang seharusnya kamu kuasai."

Perkataan Pak Bayu menggantung di udara dingin, seiring dengan kepulan asap tipis dari kawah. Kata-katanya mengingatkan Alia pada buku filsafat Stoikisme peninggalan almarhum ayahnya—sebuah buku dengan sampul kulit yang sudah usang, berisi kata-kata Epiktetus yang sering ia baca tapi belum pernah benar-benar ia rasakan:

"Ada hal-hal yang berada dalam kendali kita, dan ada hal-hal yang tidak. Dalam kendali kita adalah pendapat, keinginan, kebencian—singkatnya, segala sesuatu yang merupakan tindakan kita sendiri. Tidak dalam kendali kita adalah tubuh, harta, reputasi, kekuasaan—singkatnya, segala sesuatu yang bukan tindakan kita sendiri."

Ayahnya pernah mengatakan, "Stoikisme bukan tentang tak berperasaan, Alia. Tapi tentang memilih dengan bijak di mana kita menempatkan perasaan kita."

Ritual Melepaskan

Alia menarik napas panjang, memandang gunung yang megah dan kejam itu. Gunung Api tidak peduli dengan kecemasannya. Ia akan meletus sesuai dengan hukum alamnya—itu di luar kendali. Penerbangan helikopter SAR, cuaca, kondisi jalur pendakian—semua itu di luar kendali. Tapi bagaimana dia merespons, apa yang dia lakukan dengan informasi yang ada, bagaimana dia mengelola pikirannya sendiri—itu sepenuhnya miliknya.

Dengan tekad baru, Alia meletakkan ponselnya di atas batu datar di dekat pos observasi. Ia menghadapkannya ke bawah, sebuah ritual kecil untuk melepaskan. "Terimalah apa yang tidak dapat kamu ubah," bisiknya dalam hati. Menerima bukan berarti pasrah. Menerima berarti mengenali batas dengan jujur, sehingga tidak membuang-buang energi untuk melawan yang tak bisa dilawan.

Kemudian, dengan tangan yang lebih stabil, ia kembali ke seismograf. Jarinya menari di atas layar, menganalisis pola getaran yang kompleks. Suaranya, ketika melaporkan temuan kepada Pak Bayu, kembali jelas dan tegas.

"Getaran harmonik meningkat 15% sejak kemarin, Pak. Tekanan gas sulfur dioksida juga naik, tetapi belum mencapai level kritis."

"Bagus. Terus pantau," jawab Pak Bayu, sorot mata bangga terlihat sekilas.

Akar yang Menguat

Hari bergulir dengan lambat dan menegangkan. Setiap helikopter yang melintas di langit membuat jantung Alia berdebar, tapi ia terus fokus pada kurva grafik seismik, catatan perubahan suhu, dan laporan radio dari pos-pos pengamatan lain. Ia mengalihkan kecemasan yang menggerogoti itu menjadi energi untuk memeriksa setiap detail, mengajukan hipotesis, dan menyiapkan simulasi skenario evakuasi dengan data terbaru.

Di tengah kerja intensnya, Alia teringat sebuah peristiwa masa kecil. Saat berusia sepuluh tahun, ia pernah panik karena badai besar yang mengancam akan membatalkan pesta ulang tahunnya. Ayahnya mengajaknya ke taman dan menunjukkan pohon tua yang akarnya mencengkeram kuat di antara bebatuan.

"Lihat, Alia," kata ayahnya. "Pohon ini tidak bisa menghentikan badai. Tidak bisa memindahkan batu-batu ini. Tapi ia bisa memilih di mana menanam akarnya lebih dalam. Ia fokus pada apa yang bisa dikendalikannya—tumbuh ke arah matahari, menguatkan cengkeramannya di tanah yang ada. Itulah yang membuatnya tetap berdiri."

Saat itu, Alia menganggapnya sebagai metafora yang indah. Sekarang, di lereng gunung berapi dengan adiknya dalam bahaya, metafora itu menjadi pedoman hidup.

Saat senja tiba, membawa warna ungu kelam ke langit, sebuah helikopter SAR mendarat di dataran kecil dekat pos mereka. Petugas turun dengan wajah lelah namun tenang. Alia berhenti bernapas, seluruh tubuhnya tegang.

Kabar dan Kedamaian

Petugas SAR berjalan mendekat. Alia mengepalkan tangan, berusaha menenangkan diri. "Apa pun yang terjadi, saya telah melakukan bagian saya dengan baik," bisiknya pada diri sendiri.

"Kami menemukannya," kata petugas itu, tersenyum tipis. "Terperangkap di ceruk karena longsoran kecil. Kakinya terkilir dan ada beberapa luka lecet, tapi stabil. Sudah dievakuasi ke pos kesehatan bawah. Ia baik-baik saja."

Rasa lega yang begitu dahsyat membuat lutut Alia lemas. Tapi anehnya, air matanya tidak juga jatuh. Ada kedamaian aneh di tengah kelegaan itu—sebuah ketenangan yang berbeda dari apa yang pernah ia rasakan sebelumnya. Dia tidak merasa seperti korban yang baru diselamatkan dari jurang ketakutan, tetapi lebih seperti seorang rekan yang telah menyelesaikan bagiannya dengan baik dalam sebuah misi bersama.

"Terima kasih," ucap Alia, suaranya mantap. "Apakah ada informasi lain yang tim kami perlu ketahui untuk koordinasi?"

Pak Bayu mengangguk pelan, senyum samar di bibirnya. Ia tahu muridnya telah memahami pelajaran yang lebih penting dari semua ilmu geologi yang pernah diajarkannya.

Catatan di Bawah Cahaya Lentera

Malam itu, di tendanya yang diterangi cahaya lentera, Alia mengambil buku catatan lapangannya. Di halaman kosong setelah data-data teknis, ia mulai menulis dengan huruf-huruf yang tenang dan terukur:

"Hari ini aku belajar memisahkan bebatuan dari akar.

Gunung Api, cuaca, jalur pendakian, bahkan keputusan Mark untuk mengambil jalan lain—semua itu adalah bebatuan. Keras, tetap, tak tergoyahkan oleh keinginanku. Mereka ada di sana, bukan untuk dikutuk atau ditakuti secara berlebihan, tetapi untuk dikenal dan dihormati batas-batasnya.

Tugasku, konsentrasiku, tindakanku merespons data, usahaku mengolah informasi, caraku mengelola ketakutan—itulah akar-akarku. Bisa saja kuratakan untuk menguatkan posisi, atau kubiarkan tercerai-berai karena sibuk mendorong batu.

Aku memilih untuk mengakar lebih dalam pada apa yang kumiliki. Dan ternyata, akar yang tenang dan terfokus itulah yang bisa bertahan, menunggu dengan sabar, dan akhirnya merasakan tetesan kabar baik yang menyuburkannya.

Pelajaran dari gunung dan dari ayah: Terima batu-batunya. Fokus pada akarmu. Itulah satu-satunya cara untuk tetap tegak di lereng kehidupan, apa pun cuacanya."

Alia menutup buku catatannya dan memejamkan mata, mendengar gemuruh Gunung Api yang jauh. Suara itu tidak lagi hanya mengancam, tetapi juga mengingatkan: ada kekuatan besar di luar dirinya. Dan justru dengan mengakui itu, dengan menerima batas kekuasaannya dengan rendah hati, ia menemukan kekuatan yang sesungguhnya—kekuatan untuk tenang, berpikir jernih, dan bertindak tepat di tengah dunia yang tak pernah benar-benar bisa ia kendalikan sepenuhnya.

Dua Minggu Kemudian

Mark duduk di kursi roda di teras rumah pemulihan, kakinya masih dibalut perban. Alia duduk di sampingnya, memegang secangkir teh hangat.

"Maaf sudah membuatmu khawatir," kata Mark, suaranya masih serak.

Alia tersenyum, menatap mata adiknya. "Aku memang khawatir. Tapi kupelajari sesuatu yang penting saat itu."

"Apa itu?"

"Bahwa mencintaimu tidak berarti harus menderita setiap kali kau dalam bahaya. Bahwa aku bisa tetap tenang dan melakukan apa yang perlu dilakukan, justru karena aku mencintaimu."

Mark memandangnya dengan heran. "Kedengarannya seperti ayah."

Alia mengangguk, matanya berkaca-kaca namun tetap tenang. "Ya. Sepertinya akhirnya aku mengerti apa yang selalu coba diajarkannya."

Di kejauhan, Gunung Api masih mengeluarkan asap tipis. Masih aktif, masih tak terduga, masih di luar kendali mereka. Tapi di teras itu, dua bersaudara itu merasakan kedamaian yang tidak bergantung pada gunung yang tenang, tetapi pada pikiran yang telah belajar di mana harus mengakar.

Pesan dari Cerita "Akar di Bebatuan"

Kehidupan kita dikelilingi oleh "bebatuan"—hal-hal di luar kendali kita: tindakan orang lain, keputusan atasan, kondisi ekonomi global, cuaca, bahkan lalu lintas di pagi hari. Stoikisme mengajarkan kita untuk mengenali bebatuan ini dengan jujur, bukan dengan kepasrahan putus asa, tetapi dengan kejernihan yang membebaskan.

Kebebasan sejati dimulai ketika kita berhenti mencoba menggeser gunung dan mulai memilih di mana kita akan menanam akar. Akar kita selalu ada di dalam wilayah kendali kita: sikap kita, nilai-nilai yang kita pegang, usaha kita, cara kita menafsirkan peristiwa, dan bagaimana kita merespons tantangan.

Cerita Alia mengajarkan bahwa dalam keadaan paling kacau sekalipun, selalu ada sesuatu yang masih berada dalam kendali kita—mulai dari napas berikutnya hingga cara kita memusatkan perhatian. Dengan mengalihkan energi dari mengkhawatirkan "bebatuan" ke memperdalam "akar", kita tidak hanya menemukan ketenangan pikiran, tetapi juga efektivitas yang lebih besar dalam menghadapi kehidupan.

Terimalah apa yang tak dapat diubah. Kendalikan apa yang dapat dikendalikan. Dan miliki kebijaksanaan untuk membedakan keduanya. Inilah seni hidup yang tenang namun penuh daya, seperti pohon yang berdiri kokoh di lereng curam—tidak karena ia mengendalikan angin, tetapi karena ia tahu di mana harus mengakar.

Praktik Nyata dalam Kehidupan Modern

Kebijaksanaan filosofis menjadi berarti ketika diterjemahkan ke dalam tindakan sehari-hari. Berikut adalah latihan konkret yang terinspirasi dari cerita Alia:

1. Latihan "Daftar Kendali" (Setiap Pagi atau Saat Stres Melanda)

Ambil selembar kertas dan bagi menjadi dua kolom.

  • Kolom Kiri (Bebatuan/Bukan Kendaliku): Tulis semua hal yang sedang kamu khawatirkan atau streskan yang sebenarnya di luar kendalimu. Contoh: "Apa yang atasan pikirkan tentang proposalku", "Lalu lintas macet yang membuatku terlambat", "Komentar negatif di media sosial", "Cuaca buruk yang menggagalkan rencana liburan".
  • Kolom Kanan (Akar/Kendaliku): Tulis tindakan, sikap, atau respons yang masih sepenuhnya ada di tanganmu. Contoh: "Mempersiapkan presentasi sebaik mungkin", "Mendengarkan podcast edukatif selama di perjalanan", "Memilih untuk tidak membalas komentar provokatif", "Membuat rencana alternatif dalam ruangan".

Ritual: Secara simbolis, lipat atau coreat kolom kiri. Fokuskan pandangan dan energi hanya pada kolom kanan. Lakukan satu tindakan kecil dari daftar itu segera.

2. Ritual "Meletakkan Ponsel" (Seperti Alia)

Saat kamu merasa cemas karena menunggu kabar (hasil wawancara, tanggapan orang lain, berita penting), secara fisik letakkan ponsel di tempat yang tidak langsung terjangkau—di laci, di ruangan lain, atau balikkan layarnya.

Ucapkan pada diri sendiri: "Menunggu dan hasilnya adalah bebatuan. Tindakanku selanjutnya adalah akarku."

Alihkan tubuh dan pikiran sepenuhnya pada sebuah tugas yang membutuhkan konsentrasi penuh selama 25 menit (teknik Pomodoro). Bisa berupa pekerjaan, membaca, merapikan rumah, atau berolahraga ringan.

3. Praktik "Pertanyaan Stoik" saat Emosi Memuncak

Ketika kecemasan, kemarahan, atau kekecewaan mulai menguasai, tanyakan tiga pertanyaan ini berurutan:

  • "Apa yang sebenarnya terjadi? (Fakta objektifnya saja)." Misal: "Atasku memberikan revisi pada proposalku" (bukan: "Atasku pasti membenciku!").
  • "Bagian mana dari situasi ini yang benar-benar berada dalam kendaliku?" Misal: "Aku bisa meminta klarifikasi, mempelajari masukaannya, dan merevisi."
  • "Apa satu tindakan kecil yang bisa aku lakukan sekarang atas bagian yang bisa kukendalikan itu?" Misal: "Menjadwalkan waktu 10 menit untuk membandingkan versi proposal."

Tindakan kecil itu adalah "akar". Lakukan segera.

4. Membuat "Jurnal Bebatuan & Akar" Mingguan

Di akhir pekan, luangkan 15 menit untuk merefleksikan:

  • Bebatuan apa yang paling menyita pikiranku minggu ini? (Misal: rumor PHK di kantor, konflik keluarga).
  • Bagaimana reaksiku? Apakah reaksiku fokus pada 'bebatuan' atau 'akar'?
  • Jika bisa mengulangi, respon seperti apa (akar) yang lebih bijak bisa kuberikan?

Akar positif apa yang berhasil kutanam minggu ini meski dalam situasi sulit? (Misal: tetap menjaga rutinitas olahraga, bersikap sopan pada rekan kerja).

5. Visualisasi "Pohon di Lereng" (Meditasi Singkat)

Di saat tenang, tutup mata dan bayangkan dirimu sebagai sebuah pohon yang kuat di lereng gunung.

Bebatuan adalah angin kencang, hujan deras, tanah yang bergerak—akui kehadirannya, tapi jangan melawannya.

Akar adalah keteduhan di dalam dirimu. Bayangkan akar-akar itu menembus lebih dalam ke tanah, mencari sumber ketenangan dan kekuatan yang stabil.

Tarik napas dalam, dan dengan setiap embusan napas, ucapkan dalam hati: "Aku tidak mengendalikan badai. Aku menguatkan akarku."

Inti Praktis

Filosofi ini bukan mengajarkan kepasifan, tetapi keberanian yang terfokus. Kita tidak mengabaikan masalah, tetapi memilih strategi pertempuran yang tepat: bertempur di medan di mana kita memiliki kekuatan—yaitu dunia internal dan tindakan kita sendiri.

Dengan berlatih memisahkan "bebatuan" dari "akar" secara konsisten, kita melatih otak untuk secara otomatis mencari celah kekuatan dalam setiap kesulitan. Seperti Alia yang akhirnya bisa mendengar gemuruh gunung bukan sebagai ancaman semata, tetapi sebagai data dan pengingat akan keteguhan dirinya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar