Charirmasirfan.com | Dunia Kampus - Di tengah percepatan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi di abad ke-21, dunia pendidikan dihadapkan pada dua tantangan besar: kebutuhan untuk belajar sepanjang hayat (lifelong learning) dan kapasitas untuk beradaptasi dengan lingkungan yang semakin dinamis. Banyak lulusan dan pekerja muda kini menyadari bahwa sekadar mengandalkan pembelajaran formal di ruang kelas saja tidak cukup lagi. Sebagaimana sebuah studi terbaru di Indonesia menunjuk, terdapat celah yang signifikan antara kompetensi lulusan—termasuk kreativitas, inovasi, dan kesadaran dunia kerja—dengan tuntutan dunia profesional masa kini.
Menghadapi realitas ini, muncul model pembelajaran yang lebih fleksibel, kontekstual, dan terbuka: model yang berlangsung kapan saja dan di mana saja—melewati batas ruang kelas tradisional, memanfaatkan teknologi, pengalaman informal, dan interaksi sosial. Salah satu kerangka yang mendapatkan perhatian adalah yang dikenal sebagai Pervasive Learning Model (atau “pembelajaran pervasif”), yang menegaskan bahwa belajar bukan hanya aktivitas formal di dalam kelas, melainkan juga melalui pengalaman sehari-hari, kolaborasi sosial, dan teknologi digital.
Oleh karena itu, dalam artikel ini kita akan mengeksplorasi lebih dalam: apa sebenarnya model pembelajaran pervasif, bukti-penelitian terkini yang mendukungnya, manfaat dan tantangannya, serta bagaimana kita bisa menerapkannya di sekolah, universitas, atau bahkan lingkungan pelatihan profesional. Dengan demikian, Anda yang berperan sebagai pendidik, pengembang kurikulum, atau profesional pelatihan dapat memperoleh gambaran lebih jelas tentang bagaimana menghadirkan pembelajaran yang “anytime, anywhere, anybody”.
Mari kita mulai dengan memahami definisi dan kerangka teoretisnya.
Definisi dan Kerangka Teoritis
Istilah pembelajaran pervasif (pervasive learning) mengacu pada pendekatan belajar yang menembus batas ruang, waktu, dan media tradisional. Berbeda dari model konvensional yang berfokus pada kegiatan formal di kelas, pembelajaran pervasif memandang belajar sebagai proses berkelanjutan yang terjadi di berbagai konteks — formal, informal, dan sosial — dengan dukungan teknologi digital yang memungkinkan kegiatan belajar berlangsung kapan saja dan di mana saja.
Menurut Suartama et al. (2024) dalam artikel “Instructional Design Models for Pervasive Learning Environment: Bridging Formal and Informal Learning in Collaborative Social Learning” (Education Sciences, MDPI), pendekatan ini bertujuan menjembatani kesenjangan antara pembelajaran formal dan informal melalui desain lingkungan belajar yang kolaboratif dan kontekstual. Dalam penelitian tersebut, pengembangan pervasive learning environment (PLE) dikatakan layak diterapkan untuk meningkatkan keterlibatan dan konektivitas peserta didik di pendidikan tinggi.
Dalam konteks umum, pendekatan ini biasanya mencakup tiga bentuk kegiatan belajar:
- Pembelajaran Formal – aktivitas terstruktur seperti kelas, modul daring, atau pelatihan resmi.
- Pembelajaran Informal – pengalaman mandiri, eksplorasi pribadi, atau mentoring di luar sistem formal.
- Pembelajaran Sosial – kolaborasi, diskusi kelompok, atau interaksi melalui komunitas dan media digital.
Ketiga elemen tersebut tidak dipisahkan secara kaku, tetapi saling melengkapi dan saling memperkuat. Beberapa penulis menggambarkannya sebagai keseimbangan antara aspek formal, informal, dan sosial (tanpa proporsi tetap), yang bersama-sama menciptakan ekosistem belajar yang pervasif.
📖 Catatan istilah: Dalam literatur, istilah yang digunakan dapat bervariasi — seperti pervasive learning model (PLM), pervasive learning environment (PLE), atau pervasive learning system (PERLS). Dalam tulisan ini, istilah “pembelajaran pervasif” digunakan secara umum untuk merujuk pada seluruh pendekatan tersebut.
Teori Pendukung
Beberapa teori pendidikan modern menjadi fondasi konseptual bagi pembelajaran pervasif:
1. Konstruktivisme
Menyatakan bahwa peserta didik membangun pengetahuan melalui pengalaman dan refleksi.
→ Pembelajaran pervasif memperkuat hal ini dengan memberi ruang bagi pengalaman dunia nyata dan pembelajaran mandiri di luar ruang kelas.
2. Teori Pembelajaran Sosial (Bandura, 1977)
Menjelaskan bahwa individu belajar melalui observasi, kolaborasi, dan interaksi sosial.
→ Unsur sosial dalam pembelajaran pervasif menekankan pentingnya belajar dari rekan sebaya dan komunitas digital.
3. Ubiquitous Learning (u-Learning)
Fokus pada pembelajaran “selalu tersedia” dengan bantuan teknologi mobile dan jaringan.
→ Pembelajaran pervasif mengadopsi prinsip serupa, menekankan fleksibilitas waktu dan tempat belajar.
4. Connectivism (Siemens, 2005)
Menyoroti pentingnya jaringan dan konektivitas dalam pembelajaran digital.
→ Pembelajaran pervasif menggunakan koneksi digital sebagai sarana utama pertukaran informasi dan kolaborasi lintas ruang.
Esensi dan Tujuan
Esensi dari pembelajaran pervasif bukan hanya penggunaan teknologi, tetapi cara berpikir baru tentang bagaimana manusia belajar. Ia menekankan bahwa pembelajaran:
- dapat terjadi di mana saja dan kapan saja,
- melibatkan pengalaman pribadi, sosial, dan profesional,
- berkelanjutan sepanjang hayat (lifelong learning), dan
- relevan dengan konteks kehidupan nyata.
Dengan pendekatan ini, pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas atau jadwal tertentu, tetapi menjadi proses yang mengalir dan melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Bukti Penelitian Terkini
Desain Pervasive Learning Environment (PLE) terbukti layak untuk dikembangkan
Penelitian R&D terbaru oleh Suartama, Yasa & Triwahyuni (2024) mendeskripsikan proses perancangan dan validasi model Pervasive Learning Environment yang mengintegrasikan pembelajaran formal, informal, dan sosial. Studi ini menunjukkan bahwa desain PLE yang memanfaatkan teknologi, interaksi sosial, dan lingkungan sehari-hari layak diterapkan dan relevan untuk konteks pendidikan tinggi, meskipun penilaian skala luas masih diperlukan.
“Pervasive tools” meningkatkan dinamika pembelajaran di pendidikan tinggi, namun bukti empiris bervariasi
Tinjauan sistematis oleh Lim & Lee (2024) menemukan bahwa penggunaan alat-alat pervasive (mis. perangkat mobile, dashboard pembelajaran, notifikasi just-in-time, platform kolaborasi) berkaitan dengan peningkatan engagement, fleksibilitas, dan akses ke sumber belajar. Namun literatur yang tersedia masih heterogen: banyak studi bersifat studi kasus atau pra-eksperimental sehingga hasilnya sulit digeneralisasi tanpa penelitian lebih terkontrol.
Contoh implementasi skala kecil/kontekstual menunjukkan potensi peningkatan capaian pembelajaran
Penelitian terapan di tingkat sekolah/klinik program (mis. studi implementasi pada pembelajaran Geografi di Jurnal Basicedu, 2024) melaporkan bahwa penerapan elemen-elemen pembelajaran pervasif (tugas berbasis lingkungan nyata, peer discussion, pemanfaatan mobile untuk data lapang) dapat memaksimalkan keterlibatan guru-siswa dan mendukung capaian pembelajaran di mata pelajaran kontekstual. Namun skala sampel sering kecil (puluhan responden), sehingga hasilnya bersifat indikatif bukan konklusif.
Temuan lintas-studi (konsensus dan pola umum)
- Faktor keberhasilan berulang: kesiapan infrastruktur (konektivitas & perangkat), kapabilitas pengajar dalam mendesain lingkungan belajar hybrid/pervasive, dan keterlibatan sosial/komunitas merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi. Beberapa studi menekankan bahwa keberadaan teknologi sendiri tidak cukup tanpa desain instruksional yang kuat.
- Bukti masih didominasi studi desain/feasibility dan studi kasus: banyak publikasi masih berada pada tahap pengembangan model, validasi kelayakan, atau kajian literatur — bukti efek jangka panjang terhadap outcome pembelajaran (mis. peningkatan nilai secara konsisten) masih terbatas dan memerlukan studi eksperimental skala besar.
- Manfaat yang sering dilaporkan: peningkatan engagement peserta, fleksibilitas akses belajar (just-in-time), dan kesempatan belajar kontekstual yang mendekatkan teori ke praktik. Namun ada juga laporan tentang hambatan praktis seperti beban kerja guru, risiko distraksi, dan kesenjangan akses.
Implikasi bagi praktik dan riset lanjutan
- Untuk praktisi (guru/lembaga): fokus awal sebaiknya pada pilot skala kecil yang jelas tujuan evaluasinya (mis. pengukuran engagement dan keterampilan praktis), pelatihan guru, dan solusi akses (mis. konten offline atau distribusi perangkat). Hasil studi menunjukkan pendekatan bertahap lebih realistis dibandingkan deploy penuh langsung.
- Untuk peneliti: diperlukan studi kuasi-eksperimental atau RCT yang mengukur outcome yang jelas (kinerja akademik, keterampilan transfer, retensi jangka panjang) dan juga studi longitudinal untuk menilai sustainabilitas model PLE. Tinjauan literatur 2024 menegaskan kebutuhan ini.
Referensi
- Suartama, I. K., Yasa, I. N., & Triwahyuni, E. (2024). Instructional Design Models for Pervasive Learning Environment: Bridging Formal and Informal Learning in Collaborative Social Learning. Education Sciences, 14(12), 1405. https://www.mdpi.com/2227-7102/14/12/1405
- Lim, T. L., & Lee, A. S. H. (2024). A Systematic Literature Review of the Benefits of Utilizing Pervasive Tools in Higher Education. Journal of Educators Online.
- Sanisah, S., Tohirin, T., Kusmarniaty, K., & Rukakyah, S. (2024). Analisis Implementasi Pervasive Learning Model untuk Memaksimalkan Capaian Pembelajaran Geografi. Jurnal Basicedu.
- Aljohani, N. R. (2023). Ethical Data Practices in Smart and Pervasive Learning Environments. Education and Information Technologies.

0 Komentar