eNJopSeP95EurF8nP4maaDDtU5CiGrMY7GG6i4SK

Santri dan Kekuasaan: Ketika Pengabdian Melahirkan Kepemimpinan

Pesantren tak mengejar kekuasaan, namun melahirkan banyak pemimpin bangsa melalui ketulusan, moralitas, dan pengabdian yang tulus tanpa ambisi.

Charirmasirfan.xyz | Dunia Santri - Dalam perjalanan panjang bangsa ini, ada satu lembaga yang tetap hidup di antara perubahan zaman: pesantren. Ia bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter, ketekunan, dan moralitas sosial. Pesantren tidak lahir dari dorongan kekuasaan, bukan pula dari ambisi duniawi. Namun, dari tempat yang sederhana itu, banyak lahir pemimpin besar bangsa—tokoh-tokoh yang tak pernah mengejar jabatan, tetapi justru diberi kepercayaan untuk memegangnya.

Dunia Santri

Fenomena ini menarik untuk dibaca dari sisi sosial, etika kebangsaan, dan psikologi perilaku manusia. Mengapa lembaga yang tidak berorientasi pada kekuasaan justru menghasilkan banyak pemimpin moral dan politik? Mengapa para santri yang tidak mengejar jabatan seringkali dipercaya masyarakat untuk memegangnya? Pertanyaan ini membuka ruang refleksi tentang makna kekuasaan, pengabdian, dan nilai-nilai kepemimpinan di tengah dinamika sosial modern.

Kekuasaan sebagai Amanah, Bukan Ambisi

Dalam pandangan pesantren, kekuasaan bukanlah tujuan hidup, melainkan amanah. Santri diajarkan untuk melayani, bukan dilayani. Sejak dini, mereka dibentuk dalam atmosfer kesederhanaan, kedisiplinan, dan keikhlasan. Mereka membersihkan halaman, mencuci piring, dan belajar dalam keterbatasan. Dari sana, muncul kesadaran bahwa hidup bukan untuk menguasai orang lain, melainkan untuk memberi manfaat kepada sesama.

Ketika nilai-nilai ini melekat, santri tumbuh menjadi pribadi yang tidak tergoda pada ambisi jabatan. Mereka memandang kepemimpinan sebagai tanggung jawab moral, bukan posisi prestisius. Maka tak heran jika banyak di antara mereka akhirnya menjadi pejabat publik, rektor, pengusaha, atau pemimpin sosial tanpa pernah mengejar posisi itu. Masyarakat melihat ketulusan mereka—dan justru karena ketulusan itulah mereka dipercaya.

Etika Kebangsaan: Dari Pesantren ke Ruang Publik

Pesantren adalah miniatur bangsa dalam bentuk paling sederhana. Di dalamnya, hidup ratusan bahkan ribuan individu dari berbagai daerah, latar belakang, dan budaya. Mereka belajar hidup bersama dalam keteraturan nilai dan etika. Di sinilah etika kebangsaan tumbuh secara alami. Tidak ada perbedaan kasta, tidak ada hirarki sosial berbasis ekonomi. Yang dihormati bukan karena jabatan, tetapi karena ilmu dan akhlaknya.

Nilai egalitarian ini kemudian terbawa ke ruang publik. Ketika para santri keluar dari pesantren dan masuk ke dunia sosial yang lebih luas, mereka membawa etika kolektif itu. Mereka memahami pentingnya musyawarah, empati, dan kebersamaan. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi kepemimpinan yang berorientasi pada keadilan sosial dan kemaslahatan bersama—bukan pada kepentingan pribadi atau golongan.

Etika kebangsaan versi pesantren menempatkan moralitas di atas strategi, dan keadilan di atas popularitas. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari keteguhan hatinya menjaga amanah.

Kekuasaan dalam Perspektif Sosial dan Psikologi Perilaku

Dalam psikologi sosial, manusia memiliki dorongan dasar untuk diakui dan berpengaruh. Namun dalam tradisi pesantren, dorongan ini disublimasikan menjadi motivasi spiritual—yakni keinginan untuk berbuat baik tanpa pamrih. Santri belajar bahwa pengaruh sejati tidak datang dari kekuasaan, tetapi dari keteladanan.

Proses ini menarik dari sisi perilaku: ketika seseorang tidak mengejar kekuasaan, justru orang lain yang mendorongnya untuk memimpin. Inilah bentuk kepemimpinan berbasis kepercayaan sosial (social trust leadership). Ia lahir bukan dari kampanye atau citra, tetapi dari konsistensi dan integritas yang dilihat publik dalam keseharian.

Dalam dunia modern yang serba kompetitif, pesantren justru mengajarkan anti-tesis: tidak perlu mengejar jabatan, cukup menjadi pribadi yang bermanfaat. Ketika manfaat itu dirasakan banyak orang, maka kepemimpinan datang dengan sendirinya. Fenomena ini menunjukkan hubungan erat antara moralitas dan legitimasi sosial.

Ekonomi Moral dan Kepemimpinan Santri

Di tengah sistem ekonomi yang sering menilai manusia dari aset dan kapital, pesantren mengajarkan nilai ekonomi moral—bahwa kekayaan bukan diukur dari banyaknya harta, tetapi dari banyaknya manfaat. Nilai ini menjadi pondasi bagi santri dalam menjalankan peran di masyarakat. Mereka cenderung membangun usaha sosial, lembaga pendidikan, koperasi, dan kegiatan ekonomi berbasis komunitas.

Ketika santri menjadi pejabat, etos ekonomi moral ini terlihat dalam kebijakan publik yang pro-rakyat. Mereka tidak berpikir tentang akumulasi kekayaan pribadi, melainkan kesejahteraan kolektif. Mereka melihat uang bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai alat pengabdian. Dengan cara ini, pesantren memberi kontribusi nyata dalam membentuk sistem ekonomi yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

Refleksi Sosial: Kepemimpinan yang Lahir dari Keikhlasan

Jika kita melihat sejarah bangsa Indonesia, banyak tokoh besar yang berakar dari dunia pesantren: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga banyak tokoh muda yang kini memegang jabatan penting di pemerintahan dan masyarakat. Mereka semua memiliki satu kesamaan: tidak lahir dari ambisi politik, tetapi dari niat pengabdian.

Pesantren telah melahirkan generasi yang memimpin dengan hati, bukan dengan slogan. Dalam dunia yang sering haus akan kekuasaan, pesantren mengingatkan bahwa jabatan bukanlah puncak pencapaian, melainkan ujian integritas. Ia mengajarkan bahwa yang lebih penting dari menjadi pemimpin adalah menjadi manusia yang berguna bagi orang lain.

Pesan untuk Generasi Muda

Bagi generasi muda hari ini, pelajaran dari pesantren amat relevan. Di tengah derasnya arus kompetisi dan ambisi karier, pesantren menawarkan alternatif cara pandang: bahwa hidup yang bermakna tidak selalu harus berada di puncak, tetapi bisa juga di akar yang menumbuhkan banyak kehidupan.

Menjadi pemimpin sejati bukanlah tentang siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling siap melayani. Santri telah membuktikan itu. Mereka tidak mengejar jabatan, tetapi jabatan datang mencari mereka. Mereka tidak menuntut kekuasaan, tetapi justru dipercaya karena ketulusan mereka.

Dan mungkin, di situlah rahasia terbesar kepemimpinan sejati: ketika kekuasaan datang bukan karena dikejar, melainkan karena diserahi kepada mereka yang paling layak memegangnya—mereka yang belajar dalam keheningan pesantren, bukan di panggung pencitraan.

Posting Komentar